Jumat, 30 April 2021

AGAR NASKAH DITERIMA PENERBIT MAYOR

Hari ini saya berencana menuntaskan kerjaan di dapur sebelum jam perkuliahan dimulai. Tetapi yang terjadi tidak sesuai dengan rencana. Qadarullaah, tiba-tiba badan saya terasa aneh. Suhu tubuh saya meningkat, tapi saya merasakan hawa dingin yang menusuk tulang belulangku.  Saya demam, pemirsa. Mohon doakan agar saya bisa mengikuti perkuliahan sampai akhir. Aamiin...


Siang ini Bu Rita Wati menjadi pemandu acara dan pak Joko Irawan Mumpuni sebagai narasumber. Judul materi yang ada di flyer yaitu Penerbit Mayor. Perkuliahan hari ini agak berbeda dengan pertemuan sebelumnya. Sebelum membahas apa keunikan perkuliahan siang ini, berikut saya tampilkan gambar slide mengenai biodata narasumber.

Pak Joko selaku  narasumber  memaparkan materinya dengan metode gabungan slide dengan VN atau Voice Note. Tujuannya sungguh mulia, yaitu agar peserta tidak langsung menyalin-tempel (copy-paste) kalimat narasumber. Dengan demikian, kemampuan para peserta dalam membuat resume semakin terasah dan terlatih. (Wah, kereen banget pemikiran, pak Joko!).

Mengawali pembahasan materinya, direktur Andi Publisher ini mengatakan bahwa tema sentral yang akan beliau paparkan hari ini yaitu menulis buku yang diterima penerbit. Tema ini sangat penting dibahas agar tujuan utama pelatihan ini bisa tercapai. Apa tujuan utamanya? Yakni tulisan peserta dapat diterbitkan di penerbit mayor. 

Olehnya itu, para peserta diberikan informasi mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar naskah tulisan mereka bisa tembus ke penerbit mayor seperti Andi Publisher. Nantinya, peserta tidak perlu repot-repot menerbitkan dan memasarkan sendiri bukunya. Saya menjadi semangat mengikuti penjelasan pak Joko lebih lanjut. 

Menurut pak Joko, hal pertama yang harus diperhatikan oleh seorang penulis adalah mengenali produk kategori buku di pasaran. Ternyata, ada 2 kelompok besar buku-buku di pasar, yakni buku teks dan buku non-teks. Seterusnya, kedua kelompok besar itu dikelompokkan menjadi beberapa jenis buku sebagaimana dyang tampak di gambar berikut.
Nah, dari sini pak Joko mulai menjelaskan masing-masing jenis buku satu demi satu.

1. Buku teks berbentuk bupel atau buku pelajaran. 
Para penulis diberi kebebasan untuk memilih jenjang pendidikan yang paling disenangi dan cocok untuk dibuatkan naskahnya. Mulai dari tingkat TK, SD, SMP, SMA ataupun SMK. 

2. Buku teks untuk perti atau perguruan tinggi.
Dalam hal ini buku yang ditulis adalah khusus untuk mahasiswa. Cakupan pembahasan dan bidang ilmu untuk buku perti ini malah lebih luas lagi dibanding bupel. Tidak ada larangan jika guru ingin menulis buku perti. Apalagi kalau penulisnya adalah jebolan pendidikan tingkat magister ataupun doktoral.

3. Buku non teks berbentuk fiksi. 
Buku-buku yang termasuk di dalamnya buku karya sastra seperti novel, cerpen, puisi, komik, dan lain-lain. Menurut saya pribadi, buku jenis ini sangat gampang ditulis loh, pemirsa!

4. Buku non teks berbentuk non fiksi. 
Buku non fiksi juga memiliki berbagai macam pilihan bidang. Mau menulis tentang agama, politik, hobi, motivasi, dan masih banyak bidang lainnya. 

Selanjutnya, pak Joko menjelaskan tentang pengelompokan buku berdasarkan penulisnya. Ada 5 kategori buku jika dilihat dari segi jumlah orang atau badan yang menulis di dalamnya, yaitu:
1. Buku yang ditulis oleh satu orang. Kategori ini sering dikenal dengan istilah buku solo. Artinya, satu buku secara keseluruhan ditulis oleh satu orang penulis.
2. Buku yang ditulis oleh lebih dari satu penulis.
Jika ada satu buku ditulis oleh dua orang atau lebih, itu merupakan hal yang sah-sah saja dalam dunia perbukuan. Umumnya, jenis buku seperti itu dikenal dengan nama buku antologi. Jumlah penulisnya minimal 2 orang dan maksimalnya tak terhingga. Semakin banyak penulis, maka naskah buku akan semakin cepat selesai.
Akan tetapi, apabila buku tersebut akan diajukan sebagai salah satu kelengkapan kenaikan pangkat bagi ASN (guru, dosen, maupun pegawai pemerintahan), maka ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Buku yang memiliki nilai angka kredit bagi ASN adalah buku yang jumlah penulisnya maksimal empat orang saja. Meskipun demikian, masih ada beberapa penilai (assessor berkas kenaikan pangkat) yang menghitung buku antologi yang penisnya lebih dari empat. Yang penting, nama ASN tersebut berada di urutan empat pertama.

3. Buku yang diterbitkan oleh banyak lembaga. 
Dalam buku tersebut, tentu saja jumlah penulisnya lebih dari dua orang sebab dalam satu lembaga ada beberapa orang yang menulis. Jika diterbitkan oleh banyak lembaga, berarti bisa jadi jumlah penulisnya juga lebih banyak daripada buku antologi.
4. Buku yang diterbitkan bekerjasama dengan pihak kampus atau organisasi profesi.
Buku-buku ini biasanya mencantumkan logo semua pihak yang terlibat dalam kerjasama. Salah satu buku yang pernah diterbitkan dengan kategori seperti ini adalah buku yang ada di gambar berikut.
5. Buku yang ditulis oleh konsorsium penulis. 
Buku dengan kategori ini hampir sama dengan kategori buku antologi. Namun, ini lebih tepat jika saya katakan sebagai buku karya keroyokan. Mengapa? Karena dalam tema yang dibahas dalam buku ini hanya satu, tetapi isinya situs oleh orang yang berbeda. Jadi masing-masing bab dibagi ke beberapa orang yang berkompeten atau ahli di bidang/tema yang dibahas. Berikut ini contohnya.
Nah, dari kategorisasi buku-buku yang telah dibahas oleh pak Joko, kira-kira para peserta mau memilih jenis yang mana? Itu sih terserah Anda, pemirsa. Mau pilih salah satunya, boleh. Mau mencoba menulis semua kategori juga bisa. Sekarang, coba dilihat pada gambar berikut! Para peserta sudah berada di anak tangga ke berapakah? Jreng, jreng, jreeeng!
Sejujurnya saya nyatakan bahwa saat ini saya sedang berada di level keempat, yakni how do I do it. Itulah sebabnya saya bergabung di kelas belajar menulis bersama PGRI dan berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan. Seterusnya saya yakin akan melewati anak tangga berikutnya sampai tiba di puncak seperti para senior di grup WA belajar menulis. Aamiin...

Pada umumnya, ekosistem penerbitan (penerbit mayor) di manapun itu relatif sama. Semuanya selalu berorientasi pada keuntungan. Adapun alur buku dari penulis, ke penerbit, lalu ke penyalur, dan berakhir pada pembaca dapat dilihat pada gambar berikut.
Secara sederhana dijelaskan bahwa apabila ada buku yang tidak laku di pasaran, maka sebenarnya yang rugi bukan penulis ataupun penyalur. Akan tetapi pihak penerbitlah yang paling banyak menanggung kerugiannya. Itulah sebabnya, penerbit mayor memberikan penekanan ataupun prosedur yang cukup ketat terhadap naskah buku yang akan diterbitkan.

Tingkat pertumbuhan literasi di Indonesia pada khususnya dan di Asia pada umumnya itu lebih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Telah ditemukan bahwa ada beberapa hal yang menjadi penghambat pertumbuhan industri penerbitan atau literasi di Indonesia.
1. Minat baca yang rendah, kualitas dan bahan bacaan yang kurang.
2. Rendahnya minat tulis sebagai akibat dari kurangnya minat baca.
3. Apresiasi terhadap hak cipta yang kurang. Masih banyak orang yang suka membaca buku bajakan yang diduplikasi secara tidak legal oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Berikutnya, pak Joko menjelaskan secara rinci mengenai proses perjalanan sebuah naskah tulisan menjadi sebuah buku.
Kelihatannya begitu rumit dan kompleks yah, pemirsa! Tapi tidak usah khawatir, sebab pak Joko menjelaskan secara perlahan-lahan sehingga prosedurnya menjadi lebih sederhana. 
1. Penulis menyiapkan naskah.
2. Naskah dikirim ke penerbit untuk dinilai (apakah buku ini nantinya bisa laku atau tidak? Kira-kira adakah yang mau membeli atau tidak?)
3. Jika pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya positif (ya), maka naskah diterima penerbit. Jika negatif, naskah ditolak.
4. Jika naskah diterima, pihak penerbit akan menghubungi penulis dan meminta soft copy naskah secara keseluruhan sekaligus mengadakan transaksi dengan penulis. (Ada surat pernyataan dan perjanjian antara penulis dan penerbit di atas kertas bermaterai).
5. Penerbit melakukan proses awal yakni editing dan setting naskah. Pihak penerbit memiliki 60 editor yang akan memperbaiki dan melengkapi naskah yang tidak sempurna.
6. Naskah yang telah disetting, dibuatkan cover dan dibuatkan satu buku cetakan  yang menyerupai buku aslinya untuk dikembalikan ke penulis.
7. Penulis melakukan pengecekan terhadap buku yang akan dicetak. Proses ini disebut proof. Tujuannya agar tidak ada kesalahan fatal setelah dicetak.
8. Naskah dikirim kembali ke penerbit untuk dicetak secara massif.
9. Buku yang sudah dicetak, didistribusikan ke seluruh Indonesia melalui toko buku dan direct selling.

Seorang penulis harus pandai-pandai memilih penerbit yang akan diajak bekerjasama. Ada beberapa ciri-ciri penerbit yang baik berdasarkan penjelasan pak Joko. Adapun gambarannya dapat dilihat melalui gambar berikut.
Namun, ada juga penerbit yang patut diwaspadai agar penulis tidak dirugikan ke depannya.

Setelah buku tersebut laku dijual di pasaran, setidaknya ada empat hal yang akan dimiliki oleh penulis.
1. Reputasi
2. Kepuasan
3. Karir
4. Uang
Keempat hal tersebut merupakan sebuah puncak pencapaian seorang penulis.  Meskipun mungkin ada diantara mereka yang tidak terlalu berorientasi pada poin terakhir yakni uang.

Sebenarnya masih banyak hal yang ingin saya tuliskan dalam resume ini. Karena pak Joko menyampaikan begitu banyak informasi penting mengenai dunia penerbitan. Akan tetapi, rasanya kedua jempolku sudah mulai kelelahan dan saya tidak ingin jika keduanya menjadi keriting, hehehe...

Olehnya itu, agar materi pak Joko tidak hilang begitu saja, saya lalu menyimpan semua gambar dan rekaman suara beliau dalam sebuah folder di laptop. Dengan demikian, saya bisa mengulang kembali penjelasan beliau di waktu yang lain. 

Terima kasih saya haturkan kepada pak Joko yang telah memberikan penjelasan yang begitu terperinci. Juga tak lupa saya sampaikan terima kasih kepada Bu Rita yang telah menjadi moderator yang keren di pertemuan hari ini. Semoga Allah subhaanahu wa ta'ala memberikan kesehatan dan keberkahan dalam hidup kita semua. Aamiin...



Waktu pertemuan: Jum'at, 30 April 2021
Resume ke: 12
Tema: Penerbit Mayor
Narasumber: Joko Irawan Mumpuni
Gelombang: 18






Rabu, 28 April 2021

MEMAHAMI KARAKTER PENERBIT MAYOR

Hari Rabu pekan ini tanggal 28 April 2021, kami umat Islam sudah memasuki hari keenam belas Ramadhan 1442 Hijriyah. Artinya, sudah lebih dari seperdua purnama kami berpuasa. Hari ini seluruh peserta kelas belajar menulis gelombang 18 mengikuti perkuliahan juga telah melewati setengah jalan menuju 20 resume materi. Semoga kami bisa mencapai titik akhir pelatihan ini. Aamiin...

Siang ini, kami dipandu oleh pak Bambang Purwanto alias Mr. Bams untuk menerima materi dari pak Edi S. Mulyanta. Materinya mengenai penerbit mayor.
Tepat pukul 14.00 WITA, Mr. Bams mengunci grup sehingga hanya admin saja yang dapat mengirim pesan. Tujuannya agar perkuliahan dapat berjalan maksimal tanpa disela oleh chat dari peserta. Beliau memberi salam kepada seluruh peserta, membagikan flyer kegiatan dan CV narasumber. 

Edi S. Mulyanta, S. Si., M.T. adalah nama lengkap narasumber hari ini. Beliau menjabat sebagai Publishing Consultant dan E-book Development pada perusahaan Andi Publisher. Beliau kelahiran Yogyakarta pada tanggal 24 Mei 1969. Beliau memiliki banyak pengalaman kerja dan karya tulis buku yang sudah diterbitkan. Ada 9 buku yang telah beliau lahirkan dan semuanya dapat dilihat di laman https://scholar.giigle.co.id/citations?user=tYwUNqsAAAAJ&jl=en&oi=ao

Menurut pak Edi, dulu beliau adalah seorang penulis lepas yang hidup dari menulis buku sampai akhirnya bergabung di Penerbit Andi. Beliau sudah puluhan tahun menangani penerbitan di Andi Publisher, loh. Tentunya banyak pengalaman beliau yang bisa dijadikan inspirasi bagi kami selaku peserta.

Masa pandemi yang melanda dunia sejak setahun yang lalu ternyata juga berimbas pada dunia penerbitan buku. Akan tetapi, sejak bulan Maret 2021, industri perbukuan sudah mulai bangkit kembali. Namun, ada berbagai tantangan baru yang masih harus dihadapi oleh para pengusaha di bidang ini. Tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dilalui dan diselesaikan dalam jangka waktu pendek.

Dunia penerbitan (mayor maupun minor) merupakan dunia bisnis yang selalu bermuara pada keuntungan finansial. Tentu saja, setiap penerbit memiliki idealisme di dalamnya berupa visi dan misi perusahaan yang tidak sama dengan penerbit lainnya. Adapun outlet utama bisnis ini adalah pasar toko buku meskipun tetap tidak bisa terlepas dari pasar di luar toko buku.

Mengenai sistem perbukuan di Indonesia telah diatur dengan sangat rinci dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 2017. Menurut Undang-undang tersebut, sistem perbukuan merupakan tata kelola perbukuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan terpadu, mencakup pemerolehan naskah, penerbitan, pencetakan, pengembangan buku elektronik, pendistribusian, penyediaan, dan pengawasan buku.

Tugas penerbit adalah mendapatkan naskah dari penulis lalu memprosesnya menjadi sebuah buku. Jadi, ada perbedaan antara naskah buku dengan buku dan ini digambarkan dalam UU tentang perbukuan.
1. Naskah buku adalah draf karya tulis dan/atau karya gambar yang memuat bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir.
2. Buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala.

Buku merupakan luaran atau outcome yang diakui oleh Undang-undang sebagai syarat untuk memenuhi kewajiban Aparatur Sipil Negara (ASN). Diantaranya adalah untuk kenaikan pangkat guru, dosen, maupun ASN di instansi pemerintahan. Semakin banyak karya tulis yang dipublikasikan (termasuk buku), maka ASN tersebut akan semakin cepat mencapai pangkat dan golongan yang lebih tinggi. 

Hal tersebut termaktub dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 pasal 46 ayat 2. Selanjutnya, diatur dalam Permenpan Nomor 26 tahun 2009 tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya, ada di pasal 11 ayat c-2 mengenai publikasi buku ber-ISBN. Adapun manfaat ISBN dapat dilihat pada gambar berikut.
Seluruh penerbit di Indonesia memiliki wadah tersendiri yang merupakan hasil bentukan pemerintah. Nama organisasinya adalah IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Setiap penerbit diberi nomor keanggotan dari IKAPI. Nah, Andi Publisher juga memiliki nomor tanda keanggotaan loh, pemirsa! 
Selanjutnya, penerbit mengajukan nomor ISBN ke Perpustakaan Nasional atau Perpusnas. Lalu, pihak Perpusnas memberi kode tertentu dalam ISBN itu untuk menunjukkan skala produksi penerbitannya. Skala produksi merupakan bukti kemampuan output dan kemampuan distribusi ke masyarakat luas. 

Semakin besar output dan distribusinya, maka akan semakin banyak ISBN yang dikeluarkan oelh Perpusnas. Seterusnya, akan diberikan nomor kode produksi buku di ISBN kepada penerbit dalam bentuk Publication Element Number. Berdasarkan kode produksi inilah sehingga muncul istilah penerbit mayor dan penerbit minor. (Wah, ternyata ribet banget urusannya yah, pemirsa!)

Dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks sangat mempengaruhi pengembangan dunia penerbitan. Begitupula dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat. Saat ini penerbit Andi sedang menjalankan proyek penerbitan buku digital atau e-book. Hal tersebut dapat dilihat percontohannya di http://bukudigital.my.id atau di http://ebukune.my.id

Pak Edi menyarankan kepada seluruh penulis agar mulai membiasakan diri dengan buku digital. Bukan tidak mungkin di masa-masa mendatang buku digital menjadi trend mengingat masih adanya pembatasan secara fisik. Oleh karenanya, penerbit Andi juga mengembangkan channel TV Andi di YouTube serta Production House Andy Academy. Tujuannya adalah untuk tetap mengobarkan  semangat mencedaskan kehidupan bangsa melalui penerbitan buku.

Kriteria yang harus dipenuhi untuk menerbitkan buku di penerbit mayor dijelaskan dengan sangat detail oleh Pak Edi. Penulis terlebih dahulu harus membuat proposal ke penerbit yang berisi harus besat tulisannya. Lalu penerbit akan melihat tema, judul utama, outline tulisan, pesaing buku dengan tema yang sama, dan positioning buku (harga, usia pembaca, gender, pendidikan, dan lain-lain). 

Siang ini saya tidak mau lagi terlambat mengirim pertanyaan ke narasumber seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Alhamdulillaah, saya menjadi penanya yang keempat. Yang saya tanyakan ada dua hal. Pertama, mengenai kelebihan penerbit Andi sehingga bisa menjadi penerbit mayor. Kedua, tentang ciri khas Andi Publisher dibandingkan dengan penerbit mayor lainnya. 

Pak Edi hanya menjawab pertanyaan kedua saya, pemirsa. Beliau menyatakan bahwa sesama penerbit mayor itu tidak terlalu bersaing saat di pasar sebab mereka tidak saling tumpang tindih dalam memilih materi terbitannya. Buku-buku yang telah diterbitkan oleh penerbit Andi kebanyakan dari buku Perguruan Tinggi dan buku-buku SMK yang masih sangat kurang di pasaran. Selain itu, mereka juga tetap menerbitkan buku-buku di luar tema pendidikan seperti buku fiksi maupun non fiksi dengan tema umum.

Sejujurnya disampaikan oleh Pak Edi bahwa di masa pandemi ini penerbit Andi juga terus berusaha survive. Caranya, dengan mengandalkan media-media sosial online, bekerjasama dengan sekolah, kampus, institusi, maupun pemerintahan untuk teta mempertahankan terbitannya. Dengan demikian indeks literasi bangsa masih tetap terjaga. (Semangat terus yah, pak!)

Penanya keenam menanyakan tentang defenisi buku yang baik sehingga bisa lolos dan diterbitkan oleh penerbit mayor.  Pak Edi langsung memberikan sebuah gambar sebagai jawaban dan memberikan penjelasan yang rinci.

Sebuah buku yang baik menurut pak Edi adalah buku yang dipersiapkan naskahnya oleh penulis. Adapun kesatuan penyajian dan pembahasaannya dibantunoleh pihak penerbit. Dalam hal ini harus ada kerjasama dan komunikasi yang baik antara penulis dengan penerbit. 

Sebisa mungkin penulis melakukan penyuntingan mandiri terhadap draf naskahnya. Mulai dari segi tipografi, kesalahan bahasa, kesalahan data dan fakta, dan pelanggaran legalitas dan norma. Sangat disarankan dan penting untuk diingat adalah hindari plagiarisme atau copas (copy and paste). Selain itu, materi yang ditulis harus memiliki keunikan tertentu yang telah dak dimiliki oleh penulis lainnya.



Waktu kegiatan: Rabu, 28 April 2021
Resume ke: 11
Tema: Penerbit Mayor
Narasumber: Edi S. Mulyanta
Gelombang: 18

Senin, 26 April 2021

TEKNIK PEMASARAN BUKU ALA OMJAY

Hari keempat belas bulan Ramadhan 1442 H bertepatan dengan hari Senin tanggal 26 April 2021 M. Saya kembali mengikuti perkuliahan di WAG kelas belajar menulis bersama PGRI. 
Hari ini Omjay (Wijaya Kusumah) yang akan memaparkan materinya, sedangkan yang bertugas sebagai moderator yakni Pak Cip (Sucipto Ardi). Tema kali ini merupakan bekal bagi penulis yang sudah menerbitkan buku dan ingin memasarkannya.

Mengawali acara, pak Cip mengajak seluruh peserta untuk memulai perkuliahan hari ini dengan melafadzkan Basmalah. Bismillahirrahmanirrahiim. Lalu beliau menyampaikan susunan acara dan informasi tentang proses tanya-jawab. 

Setelah dipersilakan, Omjay mulai menyampaikan materinya yakni cara baru memasarkan buku agar laku dan terjual banyak. Sebelum membahas mengenai teknik pemasaran buku, Omjay mengatakan bahwa peserta haru menguasai cara menulis buku bermutu dan menerbitkannya terlebih dahulu. 

Menurut Omjay, penulis yang baik adalah seorang pembaca yang baik. Mutu sebuah buku baru bisa diketahui setelah dibaca isinya. Biasanya sebuah buku dipasarkan melalui iklan atau promosi ke media massa (cetak maupun digital).

Berdasarkan pengalaman pribadi Omjay, ada trik tertentu yang beliau tempuh sehingga bukunya menjadi 'enak' dibaca. Apakah itu? Omjay menyatakan bahwa hal pertama yang dilakukan setelah menulis adalah mencari editor untuk tulisannya. Beliau tidak pernah merangkap tugas sebagai penulis sekaligus editor. Tentunya editor tersebut sudah ahli di bidang editing naskah.

Sebenarnya teknik memasarkan buku itu bermacam-macam. Semuanya bisa ditemukan dengan googling. Cara yang paling dominan dilakukan adalah menggunakan media digital dan media sosial. Omjay kemudian membagikan cara memasarkan buku terbarunya melalui beberapa media.

1. Instagram
Ada 3 buku terbaru beliau yang siap dipasarkan. Judulnya "Berburu Ilmu di Negeri Panda yang Lucu", "Awas Virus Corona Mengintai Anda", dan "Agar PJJ Tak Lagi Membosankan". Salah satu diantaranya adalah buku berikut ini.
Dengan sejujurnya Omjay menyatakan bahwa ilmu pemasaran buku melalui Instagram beliau dapatkan dari putri sulungnya yang bernama Intan. Saat itu Intan sedang memasarkan produk kitab suci Al-Qur'an yang memiliki keunggulan dari Al-Qur'an yang lain. Selain didukung oleh tampilan dan kualitas kertasnya yang bermutu, cara beriklannya juga lebih santai dan lebih mirip story telling. (Wow, kerreeen!!! Ini mah, like father like daughter atuh, pemirsa!)

2. YouTube
Selain pemasaran dengan cara putrinya, Omjay juga memasarkan buku melalui YouTube. Semuanya bisa ditonton di channel YouTube Omjay di http://YouTube.com/wijayalabs. Gaya beriklannya lebih natural dan apa adanya. Jika ingin lebih menarik lagi, penulis harus banyak belajar dan berkreasi lagi yah!

3. Blog
Selain via Instagram dan YouTube, Omjay juga menggunakan blog untuk memasarkan buku. Dengan blog, jumlah permintaan terhadap buku-buku beliau menjadi lebih luas. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga sudah merambah ke mancanegara. Buku-buku beliau kini sudah ada di Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. (Subhanallah! Maasyaa Allaah!)

4. Kolaborasi
Menurut Omjay, kolaborasi merupakan inti dari pemasaran buku. Terutama jika buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Indie. Penulis harus bekerjasama dengan orang lain agar buku yang diterbitkan laku di pasaran. Jika mengalami kegagalan dan terjatuh, penulis harus bangkit kembali dan berusaha sekuat tenaga serta jangan mudah berputus asa. 

Berbeda jika buku diterbitkan oleh penerbit mayor sebab mereka memiliki tenaga pemasaran yang banyak dan handal. Dengan demikian, permintaan buku dari segala arah (darat, laut, maupun udara) bisa ditangani dengan baik. 

Kolaborasi bisa dibangun bersama seorang editor handal. Menurut Omjay, di awal-awal karirnya sebagai penulis, beliau sampai harus merogoh koceknya sampai jutaan rupiah untuk menghargai jasa editor. Namun, setelah itu beliau merasakan manfaat yang sangat besar. Buku beliau laris di pasaran berkat tangan dingin seorang editor.

Saya terkesan pada quote yang disampaikan oleh Omjay, "Setiap buku akan menemui takdirnya". Namun demikian, penulis tidak boleh hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja. Penulis juga harus proaktif memasarkan bukunya ke teman-temannya melalui media apapun. Informasi dari satu teman ke teman yang lain nantinya akan seperti bola salju. Semakin luas dan semakin besar. Jadi, jika kolaborasi ini berjalan baik, jangan kaget apabila nantinya penulis menerima royalty yang fantastis. 

Kolaborasi juga bisa dilakukan dengan salah satu penerbit mayor yang menjadi rekanan PGRI di kelas belajar menulis ini. Namanya penerbit Andi Yogyakarta. Pihak penerbit sering melakukan webinar dan bersertifikat. Nah, di ajang inilah waktu yang tepat memasarkan buku. Rata-rata buku alumni kelas belajar menulis PGRI dipasarkan dengan cara tersebut.

5. Silaturahim
Omjay banyak menemukan bahwa dengan menjalin silaturahim, beliau terbantu dalam memasarkan buku. Ada kekuatan dahsyat yang beliau rasakan dengan bersilaturahim. Ada begitu banyak rezeki yang akan mengikuti jika penulis mempererat hubungan silaturahim ke sesama. 

Hal ini akan sangat berguna apabila penulis ingin memasarkan buku di daerah pelosok. Dengan silaturahim, buku-buku tersebut akan sangat mudah menemui pembacanya. 

Apabila ada teman atau keluarga yang maunya dapat buku gratis, menurut Omjay tidak menjadi masalah. Apalagi jika kita sedang melakukan promosi dan membangun personal branding. Hanya saja, terkadang buku gratis itu jarang dibaca oleh orang yang menerimanya. Kan sangat disayangkan pesan yang ada di dalamnya malah tidak tersampaikan.

Salah seorang peserta menanyakan mengenai cara menentukan harga jual buku. Menurut Omjay, penulis dapat menentukan sendiri harga bukunya. Biasanya diambil 100% dari harga cetak di penerbit. Misalnya, harga cetak buku sebesar Rp35.000 maka boleh dijual seharga Rp70.000. Begitulah salah satu cara agar penulis menjadi sejahtera dan dapat menikmati hasil kerjanya sebagai penulis profesional.

Semoga saya juga bisa mengikuti jejak literasi Omjay dan narasumber lainnya. Saya yakin tak ada sesuatu yang instan di dunia ini. Semuanya butuh proses dan setiap proses memerlukan kerja keras serta pengorbanan. Sesuatu yang diperoleh setelah melewati prosesnya akan lebih bermakna dan tidak dapat terlupakan. 

Pada pertemuan ini pertanyaan yang saya ajukan dibahas oleh narasumber. Pertemuan-pertemuan sebelumnya saya juga mengirim pertanyaan tetapi tidak sempat dijawab karena waktu yang membatasi. Memang selama mengikuti perkuliahan, saya lebih fokus pada materi yang disampaikan narasumber. Terkadang pertanyaan dari peserta lain sudah mewakili apa yang ingin saya tanyakan. 

Saya menanyakan tentang cara menentukan jumlah buku yang akan dicetak dan buku apa yang paling tepat dipasarkan secara massif. Menurut Omjay, mencetak buku itu sebaiknya bertahap. Jika banyak penawaran atau masih banyak yang memesan, baru kemudian dicetak ulang. 

Lalu, jenis buku yang paling laku di pasaran adalah buku ajar. Selain karena dibutuhkan oleh guru maupun siswa, buku pelajaran juga tidak lekang oleh waktu. Seperti buku mapel informatika dari tingkat SD, SMP sampai SMA karya Omjay yang sampai saat ini masih banyak yang memesannya.

Sebagai penutup, saya ucapkan alhamdulillah dan syukurku kepada Allah subhaanahu wa ta'ala karena telah memperkenankan saya berada ditengah guru-guru hebat Indonesia. Terima kasih juga saya haturkan kepada moderator dan narasumber hari ini. Terima kasih, Pak Cip! Terima kasih, Omjay! Semoga Allah memberikan keberkahan dalam hidup kita di dunia dan kelak di akhirat. Aamiin...





Waktu Pertemuan: Senin, 26 April 2021
Resume ke: 10
Tema: Teknik Memasarkan Buku
Narasumber: Wijaya Kusumah, M. Pd.
Gelombang: 18

Jumat, 23 April 2021

MEMBANGUN MENTAL PENULIS

Hari Jum'at tanggal 23 April 2021, bertepatan dengan hari kesebelas bulan Ramadhan 1442 Hijriyah. Saya memiliki jadwal kegiatan yang padat di sekolah. Capek? Tentu saja saya capek. Akan tetapi rasa lelah itu tertutupi oleh sebuah kesyukuran kepada Allah subhaanahu wa ta'ala.

Saya bersyukur sekali karena sampai saat ini masih bisa beraktivitas dalam pengabdian di bidang pendidikan. Di luar sana, masih banyak orang yang butuh pekerjaan tetapi belum berhasil mendapatkannya. Mereka masih pusing tujuh keliling agar bisa diterima bekerja di perusahaan ataupun instansi-instansi.

Sebenarnya saya lupa kalau hari ini jadwal perkuliahan di WAG belajar menulis bersama PGRI. Beruntung ada Bu Aam yang mengingatkan saya dengan membagikan flyer di grup WA. Terima kasih, Bu Aam!
Di flyer tercantum bahwa Bu Aam Nurhasanah yang bertugas menjadi moderator dan Bu Ditta yang menjadi narasumber. Nama panggilan narasumber kita adalah Neng Ditta. Materi yang akan beliau sampaikan siang ini berjudul "Mental dan Naluri Penulis". 

Sehari sebelumnya, para peserta diminta untuk mengisi kuesioner sebagai penunjang materi hari ini. Link angket tersebut dibagikan di grup WA gelombang 18. Alhamdulillaah saya sudah mengisi dan mengirimkannya ke panitia.

Dalam hal ini, para peserta diberi beberapa pertanyaan seputar dunia kepenulisan yang harus dijawab berdasarkan pribadinya masing-masing. Ada pertanyaan mengenai tujuan atau target peserta dalam menulis, kelebihan dan kekurangan tulisan peserta, hal yang ditakutkan oleh peserta terkait tulisannya yang dipublikasikan, dan beberapa hal lainnya.

Setelah membuka pelatihan hari ini, Bu Aam membagikan link profil Neng Ditta selaku narasumber. Ternyata beliau kelahiran Subang (Jawa Barat) pada tanggal 23 Mei 1990. Beliau sudah menikah dan telah dikaruniai seorang putra. Kalau dilihat dari paras wajahnya kelihatan masih kayak ABG yah, pemirsa!

Meskipun usianya terbilang masih muda, Neng Ditta telah menorehkan banyak karya dan prestasi. Ada 6 buku solo yang telah dilahirkan dan 11 buku karya bersama. 

Hari ini, narasumber cantik kita memulai paparan materi dengan salam dan sapaan ke peserta. Selanjutnya beliau memberikan gambaran umum mengenai keterkaitan antara teknik dan mental penulis.
Hubungan antara teknik dengan mental penulis itu sangat erat. Keduanya saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya saling terkait satu sama lain. Setiap penulis sangat dianjurkan untuk memiliki keduanya agar tulisan yang dihasilkan menjadi lebih hidup. Olehnya itu, sering dikatakan bahwa teknik menulis merupakan raga tulisan dan mental penulis merupakan jiwanya.

Teknik menulis merupakan kemampuan menulis seseorang secara teknis. Contohnya, kemampuan penulis dalam menemukan ide tulisan, membuat outline, membuat judul, dan sebagainya. Sedangkan mental penulis lebih fokus pada kejiwaan atau kondisi psikologis seorang penulis. Namun, pada kesempatan ini Neng Ditta lebih fokus pada mental penulis. Bagian teknik menulis telah disampaikan oleh beberapa narasumber sebelumnya.

Lebih jelas disampaikan bahwa mental seorang penulis itu dapat dinilai dari 6 aspek. 
1. Siap konsisten
2. Siap dikritik
3. Siap belajar
4. Siap ditolak
5. Siap menjadi unik

Dari keenam mental penulis itu, Neng Ditta menjelaskan bagian ketiga yakni siap belajar. Beliau akan memberikan penjelasan lebih rinci mengenai keseimbangan antara teknik menulis dengan mental seorang penulis.

Menurut Neng Ditta, pada dasarnya ada empat tipe penulis yaitu:
1. Dying writer
Kelompok ini merupakan tipe penulis yang paling rendah sehingga dinamai dying writer (penulis yang sekarat). Mereka adalah sekumpulan penulis yang lemah dari segi teknik maupun mental. Mereka tidak memiliki kemampuan dalam menemukan ide, membuat outline, dan masalah teknis lainnya sehingga tulisannya pun terkesan setengah jadi.

2. Dead mam
Golongan ini adalah tipe penulis yang sudah memiliki kemampuan teknik menulis namun mentalnya lemah. Mereka sudah mampu menulis secara runut dan sistematis, ilmu kepenulisan sudah dikuasai, akan tetapi belum berani mempublikasikan tulisannya. Mereka masih takut dikritik oleh orang lain.

3. Sick people
Tipe penulis yang ketiga adalah kebalikan dari tipe kedua. Tipe sick people merupakan penulis yang sudah pede dalam mempublish tulisannya, namun lemah dari segi teknik menulis. Mereka memiliki keberanian untuk dikritik dan dikomentari dan terbuka jika diberi masukan. Kesalahan-kesalahan teknis dalam tulisannya bisa diminimalisir dengan memperbanyak menulis. 

4. Alive
Kategori terakhir ini merupakan tipe penulis yang terbaik. Mereka adalah orang-orang yang sudah layak disebut sebagai penulis ahli. Artinya, mereka sudah kuat mentalnya dan teknik menulisnya juga kuat. Tulisan yang dihasilkan terasa lebih hidup (alive) dan mereka terus berkarya seperti detak jantung yang tak pernah berhenti selama orangnya masih hidup.

Tipe alive memiliki tiga tingkatan, yakni pemula, menengah, dan sangat ahli. Adapun ciri khas yang dapat dilihat dari tipe ini yaitu penulisnya pernah meraih juara pada lomba kepenulisan, tulisannya terbit di media massa atau di jurnal- jurnal nasional, dan banyak menginspirasi orang lain. Mereka sudah menganggap bahwa menulis adalah sebuah kebutuhan primer. Prinsipnya "tiada hari tanpa menulis". 
Mereka terus berproses dan mampu menghadapi tantangan menulis.

Berdasarkan hasil kuesioner yang telah direkap, ditemukan bahwa sebagian besar responden memiliki dua macam ketakutan. Pertama, takut terkait teknik penulisan. Kedua, takut terhadap penilaian orang lain (pembaca). Sedangkan 3 dari 30 peserta tidak memiliki ketakutan apapun dalam menulis dan ini yang patut dicontoh. 

Jika seorang penulis ingin menjadi hebat (alive), maka dia harus mau meningkatkan teknik menulis dan membina mentalnya. Caranya bagaimana? Tentu dengan sering berlatih menulis dan berani mempublikasikan tulisannya untuk dibaca oleh orang lain.

Selanjutnya, Neng Ditta menjelaskan tentang naluri penulis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, naluri adalah dorongan hati, nafsu, insting, pembawaan alami yang tidak disadari untuk melakukan sesuatu. Orang yang memiliki naluri penulis akan memaksimalkan fungsi inderanya sehingga bisa menghasilkan karya berupa tulisan.

Lebih jauh disampaikan bahwa seseorang yang mampu menemukan ide tulisan yang bertebaran di sekitarnya merupakan salah satu ciri adanya naluri menulis dalam dirinya. Untuk mengasah naluri tersebut, maka kenalilah diri kita dan lingkungan sekitar, lalu buatlah menjadi sebuah tulisan.

Sebagai penguatan bagi para peserta, Neng Ditta memberikan tips mengenai hasil kuesioner.
Wow!!! Semua yang disampaikan narasumber begitu mengesankan dan membakar semangat saya dalam menulis. Rasa-rasanya saya ingin menuliskan semua kalimat yang disampaikan Neng Ditta. Sayangnya, jari-jariku tidak sanggup mengimbangi desakan kata-kata yang siap diketikkan di sini. 

Mengawali sesi tanya jawab, Bu Aam menanyakan ke narasumber terkait buku yang paling berkesan. Dari 3 buku solo Neng Ditta yang sudah cetak, buku perdanalah yang paling berkesan. Selain karena pertama kali melahirkan karya, juga karena isinya mengenai kisah hidup beberapa siswa beliau yang dipoles menjadi cerpen.

Salah seorang peserta menanyakan mengenai trik agar tulisan tidak terseret ke ranah hukum. Dengan simpel dijawab oleh Neng Ditta bahwa seorang penulis sebisa mungkin menghindari hal-hal terkait isu SARA maupun pornografi. Apabila ingin menyampaikan adanya ketidakadilan atau sesuatu hal yang tidak sesuai dengan norma-norma, jangan sekali-kali menyebutkan nama atau badan/lembaga yang dikritik. Jika ingin memberi kritikan mengenai hal apapun, sebaiknya penulis menggunakan bahasa kiasan dan dikemas dengan apik. Salah satu caranya dengan menggunakan majas, pantun, ataupun puisi. 

Kemudian, peserta yang lain menyampaikan ketakutan yang dirasakan ketika ada yang menghina/mencemooh karyanya dan meminta solusi kepada narasumber. Dikatakan bahwa pada prinsipnya seorang penulis tidak dapat memuaskan dan menyenangkan hati semua orang secara keseluruhan. Dari sekian banyak pembaca, tentu ada yang suka dan ada juga yang tidak suka. Itu adalah hal yang lumrah. Penulis seharusnya bersyukur jika ada yang merasakan manfaat dari tulisannya meskipun hanya satu orang saja. Setidaknya dia telah berkontribusi dalam sebuah kebaikan. 

Pernyataan pamungkas Neng Ditta yang paling berkesan bagi saya adalah "Gelap itu ada karena ketiadaan cahaya. Maka fokuslah pada titik terang, bukan pada titik gelapnya!"

Penanya berikutnya menanyakan mengenai teknik khusus agar menulis menjadi terasa ringan dan penulis tidak merasa terbebani. Menurut Neng Ditta, kesibukan bukan penghalang untuk menulis. Beliau lalu memberikan tips agar orang-orang yang sibuk masih tetap bisa menulis kapanpun  di manapun ia berada. 

Caranya, bawalah buku catatan atau alat untuk menulis sesuai kenyamanan kita. Dengan demikian, ide-ide yang ada di sekitar kita ataupun yang sedang dialami bisa langsung tertuang dalam tulisan. Jika waktunya mepet, cukup tulis ide pokok atau garis besarnya saja. Nanti ada waktu luang baru dikembangkan menjadi sebuah tulisan utuh. Tetapi sebaiknya jangan ditunda terlaku lama agar ingatan kita mengenai hal tersebut tetap hangat dan jelas.

Lalu bagaimana menjaga agar bisa konsisten dalam menulis? Jawabannya adalah kenali dulu diri kita sendiri sebagai penulis. Jika termasuk kategori penulis yang suka tantangan, maka untuk menjaga konsistensinya dalam menulis, dia harus sering-sering ikut lomba atau challenge menulis.  Sebaliknya, jika seseorang tidak tertarik pada tantangan maka salah satu cara untuk tetap konsisten adalah dengan menentukan target. 

Sebenarnya siang ini saya sudah mengirimkan satu pertanyaan ke Bu Aam untuk diteruskan ke narasumber dan sudah tercatat sebagai P10. Artinya saya merupakan penanya kesepuluh. Menurut Bu Aam ada 12 pertanyaan yang masuk ke beliau. Namun karena ada sedikit kendala di tempatnya Bu Aam dan waktu juga membatasi sehingga pertanyaan hanya sampai tujuh saja. Selebihnya akan dijapri ke narasumber dan nanti akan dijawab. 

Meskipun demikian, saya sungguh sangat beruntung bisa mengikuti perkuliahan hari ini. Ada banyak hal yang saya peroleh dan insyaallah saya akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki mental saya sebagai penulis. Terima kasih, Neng Ditta!!!






Waktu pertemuan: Jum'at, 23 April 2021
Resume ke: 9
Tema: Mental dan Naluri Penulis
Narasumber: Ditta Widya Utami, S. Pd. Gr.
Gelombang: 18

Rabu, 21 April 2021

MERAIH MAHKOTA PENULIS DAN MUTIARA TULISAN

Alhamdulillaah, bulan Ramadhan sudah berada di hari kesembilan. Artinya, sudah delapan hari umat Islam menjalankan ibadah puasa. Semoga hakikat diwajibkannya berpuasa bisa tercapai dan menggapai derajat Mardhatillah. Aamiin...

Hari ini tanggal 21 April 2021 bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Dengan semangat juang dan pengorbanan RA. Kartini, saya bertekad untuk menjadi salah satu perempuan Indonesia yang akan mengharumkan nama bangsa dengan karya. Salah satunya dengan menerbitkan buku-buku yang akan memberi manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang. Aamiin... (Mohon doa dan dukungannya, pemirsa!)

Hari ini kelas belajar menulis bersama PGRI kembali digelar. Yang bertindak sebagi moderator yaitu Ditta Widya Utami dan narasumbernya adalah Thamrin Dahlan, SKM., M. Si.

Di awal perkuliahan, Bu Ditta menyapa dan mendoakan peserta agar tetap semangat menjalankan aktivitas di bulan nan mulia, bulan Ramadhan 1442 Hijriyah. Selanjutnya, beliau membagikan daftar riwayat hidup narasumber atau biasa disebut Curriculum Vitae (CV).

Narasumber yang akan menyampaikan materi siang ini adalah H. Thamrin Dahlan, SKM, M. Si. Beliau kelahiran Tempino Jambi pada tanggal 7 Juli 1952. Beliau seorang purnawirawan POLRI yang sekarang aktif sebagai dosen, penulis, sekaligus pendiri Penerbit YPTD (Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan).

Pak Haji (panggilan akrab pak Thamrin Dahlan) sekarang menetap di Jakarta Timur. Beliau mulai menekuni dunia kepenulisan sejak tahun 2010. Di usianya yang tak lagi muda, beliau berhasil melahirkan 37 judul buku. Selain itu, beliau juga aktif menulis di Kompasiana. (Wow, sangat menginspirasi dan mengesankan, pemirsa!). 

Dalam rangka membantu para penulis, pak Haji memberikan layanan menerbitkan buku ber-ISBN tanpa biaya alias gratis loh! Prosedur yang harus dijalani juga sangat sederhana. Hanya dalam kurun waktu 14 hari saja, naskah buku sudah bisa diterbitkan. Hingga sekarang, YPTD telah menerbitkan 210 judul buku. Wow...wow...!!! Jika ingin bergabung atau mengirimkan tulisan ke YPTD, silakan hubungi pak Haji di alamat berikut:
Menurut pak Haji, ada 3 program yang sedang digalakkan oleh YPTD untuk membantu penulis, terutama penulis pemula.
1. Menerbitkan buku penulis yang sudah memiliki naskahnya sendiri.
2. Menerbitkan buku hasil postingan penulis secara aktif di website YPTD terbitkanbukugratis.id sampai berjumlah 40 tulisan.
3. Menerbitkan buku ontologi berupa kumpulan tulisan yang diposting dalam waktu sebulan.

Buku merupakan mahkota penulis dan muara sebuah tulisan. Demikian kalimat pertama yang begitu menyentuh hati saya. Ibarat orang yang sedang merasakan dahaga, kalimat tersebut memberikan setetes harapan agar saya menuntaskan naskah melalui tugas resume ini.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pada dasarnya setiap orang telah memiliki bukunya masing-masing. Sejak belajar di Sekolah Dasar sampai pada tingkat pendidikan yang paling tinggi. Hanya dua hal yang membedakannya yakni bentuk tulisan dan penulisnya saja. 

Ketika masih di tingkat SD, buku kita bernama raport dan ditulis oleh Bapak/Ibu guru. Lalu di tingkat SMP dan SMA/SMK, kita diberi tugas membuat karya tulis berbentuk makalah, secar pribadi maupun kelompok. Jika dikumpulkan, makalah-makalah tersebut bisa menjadi sebuah buku. Pada tingkat perguruan tinggi, kita diharuskan menulis laporan hasil penelitian (Diploma) dan karya tulis berbentuk skripsi (S1), tesis (S2) dan disertasi (S3). 

Pada slide materi yang dibagikan, terpampang jelas kalimat motivasi dari pak Haji kepada peserta bahwa semua orang bisa menulis. Jika seseorang bisa berbicara, berarti secara otomatis dia bisa menulis. Hanya saja masih banyak orang yang tidak menyadari hal ini. Pada dasarnya, menulis merupakan aktivitas memindahkan kalimat yang terucap ke dalam bentuk tulisan. 

Pak Haji memaparkan tentang tiga katgori artikel atau tulisan, yaitu:
1. Deskriptif adalah tulisan yang menggambarkan sesuatu berdasarkan kaidah 5W+1H (What, Where, When, Who, Why + How). Salah satu contohnya yaitu teks berita atau reportase.

2. Eksplanatif merupakan tulisan yang memberi penjelasan dan membahas permasalahan secara mendalam, ilmiah, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya jurnal, skripsi, tesis, disertasi, dan opini.

3. Fiksi yaitu sebuah tulisan yang mengusung asa kebebasan menyalurkan inspirasi dan imajinasi sebagai bagian dari dunia seni. Contohnya puisi, novel, cerpen, dan lain-lain.
 
Selanjutnya, para peserta diberikan tips atau cara mudah menulis sekali duduk jadi. Ada enam hal yang dapat dilakukan oleh seorang penulis agar tulisannya lancar.
1. Jangan tinggalkan tulisan.
2. Hiraukan kesalahan ketik.
3. Tinggalkan sejenak sebuah paragraf jika mengalami blank atau kehabisan ide. Pindah ke paragraf berikutnya.
4. Baca berulang-ulang pada proses editing.
5. Cukup tulis 5 paragraf saja (bagi pemula).
6. Segera posting tulisan di media sosial.

Begitu banyak hal yang ingin saya tuliskan berdasarkan materi yang disampaikan hari ini. Namun, karena dibatasi oleh waktu (saat ini Waktu Sholat Asar di Indonesia Bagian Tengah sudah masuk) sehingga saya cukupkan saja sampai di sini. 

Pada sesi tanya jawab, para peserta begitu antusias menanyakan berbagai hal kepada pak Haji. Satu persatu pertanyaan tersebut dijawab dengan sangat jelas. Bahkan, pak Haji menyiapkan hadiah buat buku untuk peserta loh! (Semoga saya salah satu peserta yang beruntung. Aamiin...)

Seorang peserta bernama Laily Safira dari Medan menanyakan hal yang juga ingin saya tanyakan. Ini mengenai prosedur menulis naskah di website YPTD. Apakah ada admin atau bagaimana? Jawabannya sangat jelas dan mendetail. 

Tulisan yang diposting di YPTD tidak perlu melalui admin, tetapi langsung tayang saja. Pak Haji yakin bahwa komunitas guru sudah terseleksi alam. Mereka memiliki komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas literasi Indonesia. Jadi caranya gampang, penulis hanya melakukan registrasi dan nanti akan mendapatkan akun serta password. Lalu, silakan menulis sesuka hati. Sederhana, bukan?

Materi yang dibagikan telah saya amankan dalam folder khusus di laptop. Jadi sewaktu-waktu bisa saya baca kembali untuk menjadi motivasi dan panduan saya menulis. Saya ucapkan terima kasih banyak kepada Pak Haji yang telah membagi banyak hal kepada kami (peserta). Semoga pak Haji tetap sehat dan menjalani aktivitas keseharian dengan penuh keberkahan dan ridho Allah subhaanahu wa ta'ala. Aamiin...




Waktu Pertemuan: Rabu, 21 April 2021
Resume ke: 8
Tema: Buku Mahkota Penulis, Buku Mutiara Tulisan
Narasumber: Thamrin Dahlan, SKM., M. Si.
Gelombang: 18

Senin, 19 April 2021

PENERBIT INDIE: SOLUSI CERDAS BAGI PENULIS PEMULA

Pukul 13.20 WITA, saya cek di grup WA belajar menulis belum ada informasi tentang perkuliahan hari ini. Saya scroll berkali-kali semua chat yang ada, jangan sampai ada yang luput dari netraku. Saya kirim pesan ke salah satu tim relawan (Bu Aam) tetapi ternyata beliau sedang offline. Saya tunggu beberapa menit, belum juga centang biru.
 
'Apa hari ini nda' ada materi yah?', batinku bertanya.

Saya kemudian berselancar di Facebook. Beberapa berita lewat di berandaku, ada yang sedang ulang tahun, ada yang mengumumkan aktivitasnya yang padat, ada yang mengirim foto pemandangan di sawah dipadu langit biru. Saya begitu menikmatinya. Sesekali saya beri jempol dan berkomentar di  beberapa akun.

Ketika saya kembali ke WAG, ternyata sudah flyer yang beredar di sana. Alhamdulillaah berarti hari ini tetap ada materi untuk gelombang 18.

Moderator yang bertugas mendampingi narasumber hati ini adalah pak Sucipto Ardi. Setelah memberi salam dan membuka perkuliahan dengan lafadz Basmalah, pak Cip (sapaan bagi pak Sucipto Ardi) membagikan link blog berisi profil narasumber.

Materi hari ini disampaikan oleh Raimundus Brian Prasetyawan, S. Pd. (Wah, namanya panjang banget pemirsa!). Beliau seorang guru SD di Jakarta dan tinggal di kota Bekasi. Nama panggilannya Pak Brian. Beliau seorang guru muda dengan bejibun pengalaman dan karya dalam bidang kepenulisan.

Sudah ada puluhan tulisannya yang dimuat di media massa, baik itu media cetak maupun media online.  Tulisan beliau sudah populer di beberapa surat kabar, majalah dan tabloid.

Selain itu, terdapat 4 buku solo dan 8 buku antologi yang telah dilahirkannya. Bahkan beliau juga sudah berpengalaman menjadi kurator atau penanggung jawab pembuatan buku antologi, loh. Bukan cuma itu, pemirsa! Pak Brian juga aktif di beberapa organisasi dan sering menjadi narasumber dalam berbagai seminar. (Wow, fantastis!!!) Saya sampai kewalahan membaca segudang kelebihan yang tercantum dalam blog perkenalan beliau di https://www.praszetyawan.com/p/profil.html

Lalu pak Cip memberi arahan kepada peserta mengenai susunan acara dan teknis tanya jawab di sesi berikutnya. Tanpa menunggu lama, pak Cip mempersilakan narasumber untuk memaparkan materinya.

Di awal pembicaraan, pak Brian menceritakan bahwa beliau adalah alumni gelombang 4 pada kelas belajar menulis bersama PGRI. Tepatnya beliau bergabung pada bulan Maret 2020. (Berarti sudah setahun lebih satu bulan yah, pemirsa). Juga disampaikan bahwa pada saat beliau menjadi peserta, tidak ada materi yang membahas secar teknis mengenai cara menerbitkan buku solo. Padahal lahirnya buku solo merupakan salah satu syarat utama agar bisa lulus di kelas belajar menulis.

Menurut pak Brian, saat ini menerbitkan buku tidak lagi sesulit masa-masa yang yang lalu. Dahulu, penerbit yang ada hanyalah penerbit mayor dengan segala prosedur rumit yang dimilikinya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi penulis agar naskahnya bisa diterima oleh Penerbit mayor. Itupun masih harus merasakan H2C alias harap-harap cemas. Mengapa demikian? Karena meskipun naskahnya diterima penerbit, proses penerbitannya juga belum jelas. Bisa jadi sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun baru bisa naik cetak. 

Nah, sekarang para penulis sudah dapat bernafas lega. Apalagi bagi penulis pemula yang belum memiliki pengalaman sedikitpun tentang dunia penerbitan buku. Alhamdulillaah saat ini sudah banyak penerbit indie yang eksis dan mau memberi ruang kepada penulis (terutama pemula) untuk menerima naskah tanpa seleksi. 

Melalui penerbit indie, para penulis mendapatkan kemudahan melahirkan buku sebab naskah yang dikirim pasti diterbitkan dan proses penerbitannya pun mudah dan cepat. Maka dapat dikatakan bahwa penerbit indie merupakan solusi terbaik untuk mewujudkan impian penulis memiliki beberapa buku.

Pak Brian juga menyampaikan kisah lahirnya buku solo perdananya. Sebenarnya, keinginan beliau untuk memiliki buku sudah ada sejak masa kuliah di tahun 2014. Namun karena proses menerbitkan buku pada saat itu masih tergolong rumit dan cukup mahal, sehingga semangat menulis beliau menjadi fluktuatif. Lalu akhirnya vakum. 

Pada tahun 2019, beliau mendapat informasi tentang penerbit indie melalui Instagram. Nah, beliau lalu bersemangat untuk kembali aktif menulis. Naskah buku pertamanya dikirim pada bulan Oktober 2019 dan berhasil diterbitkan pada bulan Januari 2020. Lalu menyusul buku kedua, ketiga, dan keempat. Tiga buku solo beliau diterbitkan di penerbit indie, loh.

Pada materi ini, pak Brian memaparkan bahwa para peserta nantinya akan menerbitkan buku melalui penerbit yang dipilihnya sendiri. Sebagai salah satu alternatif pilihan, beliau memperkenalkan  Penerbit Gemala. Sebuah penerbit indie yang akan membantu memudahkan peserta untuk menerbitkan buku solonya. Penerbit ini merupakan rekanan beliau. 

Bersama Penerbit Gemala, Pak Brian membuka layanan penerbitan sejak Juli 2020. 
Ada beberapa ketentuan yang ditetapkan oleh Penerbit Gemala.
1. PDF master bisa diberikan kepada penulis. Namun, jika ingin cetak ulang penulis harus menghubungi penerbit Gemala sebab file tersebut memiliki watermark.

2. Apabila penulis hendak mencetak ulang, minimal jumlahnya sebanyak 10 eksemplar.

3. Proses penerbitan minimal 1 bulan setelah penulis mentransfer biaya penerbitan. Jadi tidak bisa diberi target waktu terbitnya. 

4. Naskah terdiri atas maksimal 130 halaman kertas ukuran A5. Jika lebih dari itu, akan ada biaya tambahan untuk tiap halamannya.

5. Naskah harus dilengkapi dengan cover (judul buku dan nama penulis), kata pengantar, daftar isi (tanpa nomor halaman), profil penulis, dan sinopsis.

6. Tidak ada layanan editing. Jadi sangat dianjurkan agar penulis mengedit sendiri naskahnya dan memastikan bahwa tidak ada kesalahan penulisan sebelum dikirim ke penerbit.

Pada kesempatan ini, pak Brian membagikan tips mudah dalam mengedit naskah.
1. Jangan menulis kata dengan menyingkatnya, misalnya kata belum disingkat menjadi blm.

2. Jangan sampai ada kata yang salah tulis alias thypo.

3. Jangan menggunakan banyak kalimat dalam satu paragraf.

4. Biasakan menggunakan kalimat yang pendek-pendek agar tidak membingungkan pembaca.

5. Jangan menggabungkan bab dalam satu halaman. Setiap bab harus dimulai di halaman baru.

Wah, cukup detail informasi yang saya terima pada perkuliahan ini. Penerbit Gemala ternyata merupakan anak perusahaan dari Keira Publishing. Penerbit ini sudah terdaftar di IKAPI, loh. Tapi nama yang terdaftar adalah nama induk perusahaannya. 

Adapun kelebihan Penerbit Gemala dibanding penerbit lain adalah file naskah buku tetap disimpan dan tidak dihapus. Jadi akan sangat memudahkan ketika akan dicetak ulang. 

Sebagai closing statement, pak Brian menyatakan bahwa saat ini menerbitkan buku semudah belanja online. Order, transfer, tunggu sebulan, buku terbit dan dikirim ke penulis. Mudah betul, bukan?




Waktu pertemuan: Senin, 19 April 2021
Resume ke: 7
Tema: Menerbitkan Buku Semakin Mudah di Penerbit Indie
Narasumber: Raimundus Brian Prasetyawan, S. Pd.
Gelombang: 18










Jumat, 16 April 2021

KIAT MELAHIRKAN BUKU HASIL RESUME

Pelatihan belajar menulis di WAG asuhan Omjay bersama PGRI siang ini kembali digelar. Saya segera bersiap mengikutinya sambil melipat pakaian yang sudah berhari-hari bertumpuk di keranjang. Saya sudah stanby di depan gawai sejak pukul 13.00 WITA. 


Siang ini moderator yang mendampingi narasumber yaitu Bu Sri Sugiastuti alias Bu Kanjeng. Sudah menjadi kebiasaan setiap memulai perkuliahan di WAG, moderator menyapa peserta dan memberikan informasi penting yang harus diperhatikan selama materi disampaikan.
 
Dengan suara lembut, Bu Kanjeng mulai dengan memberi salam dan mendoakan seluruh peserta agar tetap semangat mengikuti pelatihan menulis ini. Setelah itu, Bu Kanjeng mempersilakan narasumber untuk menyampaikan materinya. 

Sebenarnya narasumber siang ini adalah Pak Tamrin Dahlan, tetapi beliau berhalangan hadir. Maka yang menggantikan adalah seorang relawan dan salah satu tim solid dari kelas belajar menulis asuhan Omjay. Tentunya ini tidak akan mengurangi substansi dari kegiatan rutin di WAG. 

Narasumber hari ini bernama Aam Nurhasanah, S. Pd. Beliau akrab disapa dengan sebutan Bu Aam. Beliau kelahiran Cipanas, 12 Agustus 1988. Dari link blog berisi ang beliau bagikan, saya dapat mengetahui bahwa Bu Aam adalah seorang kepala sekolah di SMPS Mathla ul Hidayah Cipanas Kab. Lebak Provinsi Banten. Nama keren dari sekolah tersebut yaitu SMPS MAHIDA. (Wow beneran keren namanya, yah!)

Karya Bu Aam yang sudah diterbitkan sampai saat ini sudah berjumlah puluhan, loh! Saya sampai ngos-ngosan membaca judul-judul bukunya. Salah satu buku andalan beliau ada di gambar berikut ini.

Bu Aam dengan penuh percaya diri membagikan file PPT yang bisa peserta baca dan pelajari. Saya pun langsung mengunggah file tersebut agar dapat saya baca berulang-ulang. Terima kasih, Bu Aam!

Selanjutnya, Bu Aam menceritakan pengalamannya di kelas belajar menulis ini. Ternyata, beliau adalah peserta dari gelombang 8. Namun karena kebingungan dan kurang paham mengenai resume, akhirnya beliau ketinggalan kereta. Teman Bu Aam yang terus melaju diantaranya adalah Bu Nora, Cak Inin, dan Mr. Bams. 

Meskipun demikian, Bu Aam tidak berputus asa. Beliau kembali mendaftar di gelombang 12. Nah, di sinilah beliau memahami aktivitas peserta di WAG. Beruntung, beliau cepat memutuskan untuk mengulang lagi.

Hmm...ternyata kondisi saya kurang lebih sama dengan Bu Aam. Hanya saja, saya terlambat menyadari kekeliruan yang saya lakukan. Saya bergabung di WAG sejak gelombang 6 loh. (Ou eM Ji!!! Saya jadi malu!) Saya sering menghadiri perkuliahan via chat WA maupun melalui Zoom. Saya terkadang menyampaikan pertanyaan ke narasumber. That's it! Setelah itu, saya tidak tahu bahwa ada tugas resume yang harus disetor ke panitia. Untuk kisah lebih lanjut, insya Allah akan saya utarakan dalam buku antologi gelombang 18. (Selamat penasaran, pemirsa!)

Sekarang, kita kembali ke laptop, eh materi maksud saya. Menurut Bu Aam, resume adalah rangkuman atau ringkasan. Peserta tidak boleh menyalin-tempel materi yang dipaparkan oleh narasumber begitu saja. Akan tetapi, alangkah eloknya jika resume berisi kalimat-kalimat yang disusun sendiri oleh peserta tersebut. 

Ada tujuh langkah teknis untuk membuat resume menjadi sebuah buku yang disampaikan oleh Bu Aam.
1. Kumpulkan resume
Hasil resume dari pertemuan pertama sampai kedua puluh sebaiknya dibuatkan satu folder khusus. Tujuannya agar resume tersebut mudah ditemukan dalam laptop atau komputer.

2. Tentukan tema
Seluruh resume materi yang telah terkumpul dari materi 1 - 20 diklasifikasi berdasarkan tema yang dibahas. Misalnya, ada beberapa narasumber yang membahas tentang motivasi, maka digabung  ke dalam satu bab berjudul 'Motivasi'. Kalau ditemukan ada beberapa materi tentang penerbit, juga disatukan dalam bab berjudul 'Penerbitan'. Begitu seterusnya. Adapun nama tema untuk setiap bab disesuaikan dengan diksi peserta itu sendiri.

3. Buatkan daftar isi atau TOC (Table of Content)
Setelah melewati proses klasifikasi tema, hal yang harus dilakukan adalah membuat daftar isi berdasarkan tema-tema yang ada.

4. Kembangkan TOC
Jika daftar isi telah tuntas, penulis kemudian membuat sub tema untuk setiap babnya. Nah, dari sub tema itulah peserta menjabarkan idenya berdasarkan resume yang ada. Kembangkan tulisan yang ada dengan sebebas-bebasnya. Tulis saja semua yang terpikirkan dan yang diingat mengenai sub tema. Jangan sekali-kali membaca tulisan kita di tahap ini!

5. Review, revisi, dan edit naskah
Pada proses ini, penulis mengecek tulisan dengan sedetail mungkin. Mulai dari ejaan, tanda baca, maupun kata-kata yang salah tulis atau masih disingkat-singkat. Pastikan ada kamus Bahasa Indonesia yang mendampingi pada saat melakukan editing.

6. Buatkan sinopsis
Sinopsis adalah gambaran umum mengenai isi buku yang ditulis. Biasanya bagian sinopsis tercantum di cover belakang buku.

7. Kirim ke Penerbit
Jika keenam langkah tersebut telah dilakukan, maka hal yang paling terakhir dan paling utama adalah mengirim naskah ke penerbit. Nah, ini yang terpenting! Meskipun naskah buku telah selesai, jika tidak pernah dikirim ke penerbit, maka akan tetap disebut sebagai naskah. Dia akan berubah wujud menjadi buku jika dikirim ke penerbit dan diterbitkan. Tidak perlu sungkan atau ragu-ragu. Kirim saja! Adapun urusan editing naskah, bisa dikomunikasikan ke pihak penerbit. 

Pada pertemuan sebelumnya telah dijelaskan bahwa ada penerbit yang menyediakan jasa editing dan ada juga yang tidak. Untuk lebih jelasnya, bisa menghubungi langsung ke pihak penerbit yang bergabung dalam kelas belajar menulis bersama PGRI.

Sebuah keberuntungan bagi kami sebagai peserta pelatihan menulis ini karena ada 4 penerbit yang siap mengawal naskah para penulis pemula seperti saya. 
1. YPTD: (free penerbitan) tanpa editing naskah.
2. Bu Kanjeng: ada layanan edit naskah
3. Cak Inin: Karmila Press Lamongan
4. Pak Brian: Gemala (pernah saya ikuti materinya di Zoom beberapa hari lalu)

Pada sesi tanya jawab, ada pertanyaan yang muncul mengenai bahasa yang digunakan dalam resume. Bu Aam menjawab bahwa sebaiknya resume itu menggunakan bahasa baku. Mengapa? Karena nantinya buku kita akan dikonsumsi oleh masyarakat di seluruh pelosok Nusantara. Seperti pengalaman Bu Aam yang berhasil menjual bukunya sebayak 100 eksemplar dan tersebar ke pulau Jawa, Bali, Lombok, sampai ke Nusa Tenggara Timur.

Saya menjadi semakin bersemangat menuntaskan tugas-tugas resume. Saya berharap agar bisa menerbitkan buku berdasarkan resume yang telah saya kumpulkan. Menurut Bu Aam, model tulisannya bisa disesuaikan dengan selera penulis. Yang terpenting adalah membuat resume secara rutin, nanti kan ada tahap revisi dan editing. Jadi, pada saat itulah diperbaiki dan diberi tambahan bumbu agar tulisan menjadi lebih sedap dinikmati publik. Semoga saja kesuksesan para alumni kelas belajar menulis ini bisa tertular pada peserta gelombang 18. Aamiin...

Tak terasa waktu Ashar telah tiba untuk wilayah Bantaeng dan sekitarnya. Saatnya menghadap pada Sang Maha Pencipta sembari bermunajat menyampaikan mimpi menjadi guru blogger sekaligus penulis hebat seperti Bapak/Ibu narasumber. Tak lupa saya meminta kesehatan dan pertolongan dari Sang Maha Menolong agar cita-cita saya tercapai. Aamiin...

Saya sangat terkesan dengan beberapa pesan penting dan menggugah hati dari Bu Aam yang berbunyi: 
1. Tidak ada yang sulit di dunia ini kalau kita mau belajar.
2. Asahlah keterampilan menulis kita dengan rutin menulis setiap hari!
3. Menulis itu tidak sulit, yang sulit adalah memulai tulisan.
4. Buang rasa malas dan tulislah resume pada hari itu juga!
5. Menulislah agar hidupmu bermakna.
6. Menulislah agar hidupmu berwarna. 
7. Menulislah hari ini agar kau dikenal esok hari.

Terima kasih, Bu Aam. Semoga segala kebaikan hidup dicurahkan kepada Ibu bersama keluarga. Aamiin...






Waktu Pertemuan: Jum'at, 16 April 2021
Resume ke: 6
Materi: Menulis Resume untuk Jadi Buku
Narasumber: Aam Nurhasanah, S. Pd.
Gelombang: 18

Rabu, 14 April 2021

MENGENAL SELUK BELUK DUNIA PENERBITAN BUKU

Siang ini hari kedua bulan Ramadhan 1442 Hijriyah. Saya kembali menghadiri kuliah tentang kepenulisan dari grup WA Belajar Menulis di waktu siang. Pada kuliah kali ini, yang bertugas sebagai narasumber adalah pak Bambang Purwanto alias Mr. Bams. 

Sebelum mempersilakan pemateri, Mr. Bams memberikan arahan kepada peserta mengenai format pengiriman pertanyaan via WA. Kemudian beliau membagikan link blog berisi CV narasumber.

Adapun yang bertugas sebagai narasumber pada pertemuan kelima ini yaitu pak Mukminin, S. Pd., M. Pd. Beliau senang dipanggil dengan sebutan Cak Inin. Pria kelahiran Jombang, 6 Juli 1965 ini merupakan salah seorang guru PNS di SMP 1 Kedungpring Lamongan. 

Dari blognya, saya mengetahui bahwa Cak Inin memiliki banyak peran sentral selain dari tugas pokoknya sebagai abdi negara. Beliau juga merupakan seorang konsultan, penulis, dan penerbit. Nah, kali ini beliau akan membahas tentang penerbit indie. Tentunya sangat relevan sekali dengan peran beliau sebagai penulis sekaligus penerbit independen bernama Kamila Press Lamongan.

Sebelum memaparkan lebih detail mengenai dunia penerbitan, Cak Inin mengajak kepada seluruh peserta untuk memulai kegiatan dengan membaca QS. Alfaatihah. Beliau juga memberi motivasi agar peserta tetap bersemangat berpuasa bagi yang menjalankannya. Beliau juga tak lupa  meminta keikhlasan hati para peserta untuk mendoakan seluruh korban bencana alam agar diberi ketabahan dan kekuatan dalam menghadapi ujian hidup tersebut. 

Sebagai pengantar, Cak Inin menjelaskan tentang langkah-langkah praktis agar tulisan kita bisa diterbitkan, yaitu sebagai berikut:
1. Pra-Writing
Pada tahap ini penulis mencari ide tulisan berdasarkan passion yang diminati dan disenangi. Bentuknya fiksi maupun non-fiksi.

2. Drafting atau Outline
Setelah menemukan ide, langkah selanjutnya adalah drafting atau Outline, yakni penulis membuat daftar isi buku yang akan ditulis. Dari outline inilah tulisan dikembangkan menjadi sebuah naskah buku.

3. Writing
Di tahap writing atau menulis ini, penulis mulai menyalurkan kreativitasnya dalam merangkai kata, menyusun kalimat, menggunakan kemampuannya  berekspresi dalam bentuk tulisan. Tapi ingat, jangan dulu dibaca naskah yang sedang ditulis walaupun hanya sekali. Tetap kerjakan kegiatan menulis hingga naskahnya selesai.

4. Revisi dan Editing
Nah, setelah kegiatan menulis selesai, penulis baru dibolehkan untuk beralih ke tahap revisi dan editing. Apakah berbeda antara revisi dan editing? 
Cak Imin menerangkan bahwa kedua aktivitas tersebut memiliki perbedaan. 
a. Revisi artinya penulis mengoreksi tulisannya sendiri dengan cara mencari tahu kekurangan ataupun pemborosan kata yang terdapat di dalamnya. Di tahap ini penulis dapat menemukan jika ada paragraf yang tidak nyambung dengan paragraf sebelumnya, atau menghilangkan bagian-bagian tertentu yang tidak perlu dicantumkan dalam teks, atau bisa jadi ada tambahan data yang akan menguatkan isi tulisan.
b. Editing adalah proses memperbaiki berbagai kesalahan tanda baca, pola kalimat, ataupun kekeliruan dalam tata bahasa lainnya. Proses mengedit atau menyunting sebuah tulisan yang dilakukan oleh penulisnya sendiri biasa disebut dengan istilah swasunting.

5. Publishing
Tahapan ini merupakan tahap akhir dari sebuah proses penulisan buku. Jika penulis telah melewati tahap 1-4, maka naskah buku bisa diteruskan ke penerbit.

Disebutkan bahwa ada dua jenis penerbit yang bisa membantu penulis untuk menerbitkan karyanya. Penerbit mayor dan penerbit indie (penerbit independen). 

Adapun perusahaan yang termasuk kategori penerbit mayor antara lain: Gramedia Pustaka Utama, Mizan, Republika, Grasindo, Loka Media, Tiga Serangkai, Erlangga, Yudhistira, Andi Yogyakarta, dan masih banyak lagi penerbit mayor di Indonesia. Sedangkan contoh penerbit indie yang tergabung dalam grup belajar menulis bersama PGRI yaitu: YPTD, Gemala, Kamila Press Lamongan, dan ratusan penerbit indie lainnya.

Terua terang, saya penasaran mengenai perbedaan antara penerbit mayor dan penerbit indie. Dengan cermat Cak Inin menyampaikan mengenai hal tersebut. Jika dilihat dari beberapa aspek, dapat ditemukan adanya perbedaan antara kedua jenis penerbit tersebut. 
1. Berdasarkan jumlah cetakan.
- Penerbit mayor: dicetak secara massa, sekitar 1000 hingga 3000 eksemplar.
- Penerbit indie: dicetak sesuai pemesanan (POD: Print On Demand)

2. Berdasarkan naskah yang diterbitkan
- Penerbit mayor: naskah harus melewati prosedur yang ketat dan sangat mempertimbangkan pangsa pasar. Penulis harus siap untuk ditolak jika naskah tidak sesuai dengan kriteria penerbit.
- Penerbit indie: naskah tidak pernah ditolak asalkan tidak melanggar undang-undang hak cipta, tidak ada unsur SARA dan pornografi di dalamnya, dan layak diterbitkan.

3. Berdasarkan profesionalitas
- Penerbit mayor: SDM yang ada di dalamnya merupakan tenaga profesional di bidangnya masing-masing.
- Penerbit indie: SDM yang dimiliki juga profesional tetapi sangat ditentukan oleh manajemen dari penerbit tersebut. Maka penulis harus pandai-pandai memilih penerbit indie yang akan menerbitkan bukunya, dan jangan mudah tergoda dengan paket penerbitan murah. Penulis harus menilai penerbit indie yang berdasarkan mutu kertas dan manajemen pemasarannya.

4. Waktu penerbitan
- Penerbit mayor: waktu yang digunakan dari pengiriman naskah sampai dipasarkan cenderung cukup lama. Untuk konfirmasi naskah diterima atau tidak berkisar antara 1 sampai 3 bulan lamanya. Jika diterima, naskah tidak serta merta diterbitkan tetapi menunggu giliran. Kadang cepat, ada juga yang sampai bertahun-tahun. Dalam proses distribusi ke toko buku, sangat ditentukan oleh target penjualan yang telah ditentukan. Jika tidak mencapai target, maka buku akan ditarik oleh penerbit.
- Penerbit indie: waktu yang digunakan untuk menerbitkan buku cukup singkat. Penerbit indie meyakini bahwa naskah seorang penulis merupakan karya terbaik dan layak untuk diterbitkan. Tidak ada pertimbangan rumit dan prosedur panjang dalam menerbitkan buku.

5. Royalti
- Penerbit mayor: royalti penulis dipatok secara maksimal 10% dari total penjualan buku. Royalti tersebut biasanya dikirim ke penulis setelah penjualan mencapai angka tertentu. Terkadang ada juga yang sampai berbulan-bulan setelah buku terjual.
- Penerbit indie: keuntungan penulis pada umumnya sekitar 15-20% dari harga buku. Sistem pemasarannya beragam, ada yang secara langsung (offline) maupun online melalui Facebook, Twitter, Instagram, WAG, dan lain-lain.

6. Biaya penerbitan
- Penerbit mayor: gratis.
- Penerbit indie: berbayar dan disesuaikan dengan aturan masing-masing penerbit.

Cak Inin kemudian memaparkan tentang salah satu penerbit indie yang tergabung dalam grup belajar menulis bersama PGRI bernama Kamila Press Lamongan. Dengan sangat rinci beliau menguraikan segala hal yang terkait dengan penerbitan buku. Mulai dari jasa yang disediakan (desain cover, lay out, editing, dan ISBN), detail harga, sampai pada jumlah buku yang telah diterbitkan sejak bulan September 2020 sampai sekarang (April 2021).

Ada beberapa hal yang dipersyaratkan jika penulis ingin menggunakan jasa penerbit Kamila Press Lamongan. 
1. Naskah yang dikirim harus lengkap. Mulia dari judul, kata pengantar, daftar isi, muatan atau isi buku yang sesuai urutan daftar isinya, daftar pustaka, biodata penulis yang dilengkapi foto, dan sinopsis buku.

2. Naskah diketik di kertas A5 (ukuran 14,8 X 21cm), spasi 1,5 dengan font 11, ukuran margin seragam yakni 2cm di semua sisinya, jenis hurufnya boleh menggunakan Arial, Calibri, ataupun Cambria. Naskah utuh dikirim dalam 1 file ke WA Cak Inin atau ke e-mail beliau gusmukminin@gmail.com

Di penerbit Kamila Press Lamongan juga menyediakan jasa dan fasilitas untuk membantu penulis jika mengalami kesulitan dalam menentukan judul buku, cover buku, sertifikat penulis yang bekerjasama dengan percetakan. Selain itu, ada juga fasilitas PO atau Pre-Order buku. Dengan adanya PO, membantu penulis dalam mempromosikan buku lengkap dengan harganya.

Saya menjadi semakin bersemangat mengumpulkan ide-ide tulisan yang bertebaran di sekitar saya. Jika selama ini saya bingung mengenai alur penerbitan buku, maka hari ini saya menemukan jawabannya melalui penjelasan Cak Inin. Terima kasih, Cak!

Untuk mengetahui rincian biaya cetak buku plus ongkos kirim, penulis dapat segera menghubungi nomor kontak Cak Inin. Di sesi tanya-jawab, peserta sangat antusias mengajukan pertanyaan dan langsung dijawab dengan sangat jelas oleh Cak Inin. Kalau saya pribadi, insyallah akan menghubungi beliau ketika naskah buku saya siap dikirim. Mohon doanya yah, teman-teman!


Waktu Pertemuan: Rabu, 14 April 2021
Resume ke: 5
Tema: Penerbit Indie
Narasumber: Mukminin, S. Pd., M. Pd.
Gelombang: 18

Selasa, 13 April 2021

JURUS JITU MENYULAP KTI MENJADI BUKU

Kelas WAG belajar menulis hari ini berubah jadwal. Biasanya, kuliah dilaksanakan di malam hari, tetapi karena pertimbangan memasuki bulan suci Ramadhan maka dipindahkan ke siang hari. Saya sangat bersyukur masih bisa mengikuti materi di sela kesibukan menyambut bulan mulia. 




Sebenarnya bagus juga sih berganti waktu kuliah sehingga saya yang tinggal di wilayah Indonesia bagian tengah (Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan) tidak perlu begadang lagi, hehehe... Tapi di sisi lain, jadwal baru ini mungkin akan bersinggungan dengan jam kantor. But, it's okay. Saya harus pandai-pandai mengatur waktu. (Mohon doanya, teman-teman!)

Siang ini kelas dipandu oleh Bu Rita dari Bali. Narasumbernya adalah Bu Noralia Purwa Yunita, M. Pd. Beliau sering disapa dengan sebutan Bu Nora. Beliau seorang guru Prakarya dan IPA di SMP Negeri 2 Semarang. Beliau salah seorang alumni gelombang 8 di kelas WAG belajar menulis asuhan Omjay dan kawan-kawan.

Saya sangat terkesima melihat beberapa karya buku agitan Bu Nora. Dari sekian banyak karyanya, ada dua buku yang diterbitkan oleh penerbit Andi yang merupakan salah satu penerbit mayor, loh. Ini impian seluruh penulis pemula, terutama saya. Judul bukunya Digital Mindset dan Gamification. Yang paling mengesankan karena beliau menulis dengan seorang profesor sekaliber Prof. Richardus Eko Indrajit. (Wow, kerreeen...!!!)

Tapi tenang dulu, kawan! Yang jadi tema kuliah hari ini bukan tentang langkah-langkah menerbitkan buku pada penerbit mayor, yah. Bukan juga tentang cara menulis bareng Prof. Eko. Bukan itu. Di siang yang berbahagia ini, Bu Nora akan mengupas tuntas mengenai cara mengubah laporan karya tulis ilmiah menjadi buku.

Dari pemaparan materi saya mengetahui bahwa ternyata ada salah satu buku Bu Nora yang merupakan hasil sulap beliau. Awalnya berupa sebuah hasil penelitian berbentuk tesis, lalu pada saat mengikuti kelas WAG belajar menulis ini, Bu Nora mampu mengubahnya menjadi sebuah buku. Maka dari itu, siang ini beliau berbagi trik dan tips agar hasil penelitian atau karya tulis ilmiah diubah menjadi sebuah buku.
Buku ini lahir berkat kerja cerdas dan usaha nyata Bu Nora mengaplikasikan hasil belajarnya di WAG gelombang 8. Menurut beliau, sebuah karya tulis ilmiah yang telah disusun sedemikian rupa dengan penuh perjuangan biasanya bermuara di perpustakaan kampus. Yang membacanya tentu hanya kalangan mahasiswa dan akademisi saja. Padahal sebenarnya hasil penelitian tersebut bisa memberi kebermanfaatan yang luas jika diubah menjadi karya berbentuk buku.

Ada banyak kelebihan dan kegunaan KTI jika berbentuk buku. Diantaranya adalah:
1. Dapat dibaca oleh masyarakat awam. Jika KTI tersebut masih dalam versi aslinya, biasanya orang akan merasa bahwa isinya pasti mengenai masalah 'berat'. Akan tetapi apabila KTI sudah berbentuk buku, maka khalayak umum bisa membaca dan mengambil manfaat dari hasil penelitian yang telah dilakukan secara ilmiah.

2. Dapat diperjualbelikan. Selain memberi manfaat yang lebih luas, karya tulis ilmiah berbentuk buku juga bisa memberikan keuntungan finansial bagi penulisnya loh. Apalagi jika hal yang dibahas dalam buku itu merupakan kebutuhan mendasar masyarakat Indonesia dengan profesinya masing-masing.

3. Dapat dijadikan penambah poin angka kredit bagi guru yang berstatus ASN. Buku merupakan karya publikasi ilmiah yang memiliki nilai AK yang cukup tinggi, terutama buku solo.

4. Dapat menjadikan penulisnya terkenal dan populer. Jika banyak yang membaca bukunya, tentu penulisnya juga akan memperoleh banyak keuntungan dan kemudahan-kemudahan.

5. Dapat menjadi media untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan. Dibandingkan dengan laporan penelitian yang berbentuk artikel, makalah, skripsi, tesis, maupun disertasi, karya buku merupakan media yang paling luas cakupan pembacanya. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak hanya tersebar di dunia pendidikan formal saja, tetapi jangkauannya sampai ke masyarakat awam.

Berdasarkan penjelasan Bu Nora dapat saya pahami bahwa untuk mengubah KTI menjadi buku itu tidak langsung menyalin-tempel saja. Istilah kerennya dikenal dengan sebutan 'copas' alias copy-paste. Namun, ada beberapa bagian yang harus diperbaiki susunan kalimatnya, juga sistematika penulisannya. Bagian mana dari KTI itu yang harus diubah?

1. Judul 
Pada penulisan KTI, biasanya judul dilengkapi dengan materi, subjek dan tempat penelitian. Nah, untuk menjadi buku, judulnya mesti dipersempit pada objek penelitiannya saja.

2. Daftar Isi
Yang tercantum dalam daftar isi KTI dimulai dari bab satu sampai bab lima itu sudah ada prosedur penulisannya. Sedangkan buku hanya bergantung pada gaya bahasa si penulisnya saja meskipun ada bagian-bagian tertentu yang harus tetap diperhatikan perubahan bentuknya. Pada umumnya, karya ilmiah versi buku hanya terdiri atas tiga bab saja.

Ada 3 bagian di bab I KTI yang tidak perlu ditulis lagi dalam karya berbentuk buku. Ketiganya yaitu bagian rumusan masalah, defenisi operasional, dan tujuan penelitian. Pada bab ini, penulis hanya memaparkan tentang latar belakang penulisan, pentingnya penelitian tersebut, fokus penelitian, lengkap dengan manfaat yang diperoleh.

Lalu di bab dua versi buku, penulis tetap menjabarkan landasan teori. Di bab tiga, lebih berfokus pada tahapan dan hasil penelitian serta proses penerapan metode yang ditawarkan. Jangan lupa, hapus semua rumus statistik dalam KTI jika akan diubah menjadi buku!

3. Sebagian dari isi
Sebuah karya tulis ilmiah berbentuk buku cakupannya lebih luas disesuaikan dengan sumber kepustakaan yang ada. Selain itu, seluruh kata 'penelitian' yang ada pada KTI sebaiknya ditiadakan saja di buku. Begitu pula dengan grafik. Boleh mencantumkan grafik, itupun jika dianggap sangat penting dan wajib ada.

4. Diksi dan penyajian materi.
Karya tulis ilmiah dalam bentuk laporan tentu berbeda penyajiannya dengan KTI versi buku. Sangat dipahami bahwa setiap penulis buku memiliki gaya dan ciri khasnya masing-masing dalam memaparkan materi. Dalam KTI, biasanya disajikan dengan menggunakan bahasa ilmiah dan istilah-istilah yang tidak umum. Sebaliknya dengan bahasa buku yang lebih luwes dan dapat dipahami oleh  pembacanya dari kalangan manapun.

Proses perubahan bentuk KTI dari laporan ke buku sangat riskan terhadap tindakan plagiarisme. Lalu, bagaimana caranya agar terhindar dari hal tersebut? Jangan khawatir! Bu Nora punya tipsnya.
1. Gunakan teknik parafrasa.
2. Tambahkan sumber rujukan terbaru dalam karya buku sehingga lebih update materinya.
3. Temukan inti dari KTI yang akan dibahas dalam buku.
4. Perbanyak daftar pustaka.
5. Pastikan bahwa KTI tersebut telah dipublish minimal tingkat sekolah ataupun MGMP/KKG.
6. Beri penilaian mengenai kelebihan dan kekurangan hasil penelitian.
7. Penulis dibolehkan merujuk ke blog dari situs resmi, jurnal ilmiah, e-book, maupun karya ilmiah lainnya.
8. KTI yang dibukukan minimal terdiri dari 70 halaman kertas A5. Adapun jenis huruf, font, dan margin disesuaikan dengan ketentuan penerbit.

Alhamdulillaah, begitu banyak tambahan ilmu dan informasi penting yang dibagikan oleh Bu Nora kepada kami. Saya merasa sangat beruntung mengikuti kuliah hari ini. Terima kasih, Bu Nora! Semoga Tuhan memberi banyak kebaikan dalam hidup Ibu. Aamiin...




Waktu pertemuan: Senin, 12 April 2021
Resume ke: 4
Tema: Mengubah KTI Menjadi Buku
Narasumber: Noralia Purwa Yunita, M. Pd.
Gelombang: 18







JANUARI BER-HAB (Part 1)

Tahun 2021 telah meninggalkan semesta. Dia pergi dengan membawa berjuta kenangan dan warna-warni kehidupan.  Kini giliran tahun ...