Senin, 29 April 2024

MARET MERINTIH

Sudah tujuh bulan aku tidak menulis. Tepatnya sejak Agustus tahun lalu, tugas-tugas negara mengalihkan perhatianku dari dunia kepenulisan. Bulan September, bersama rekan-rekan di madrasah aku mengadakan acara launching buku antologi perdana kami. Judulnya "Merajut Asa di Era Tak Biasa", sebuah kisah inspiratif guru-guru madrasah  membelajarkan siswa di masa pandemi Covid-19. Dua puluh tujuh guru MA. Ma'arif NU Lasepang Kabupaten Bantaeng mengabadikan kisah mereka menjalani hari sebagai guru di madrasah sekaligus melaksanakan tugasnya sebagai orang tua di rumah dalam situasi yang tak biasa.

Aku jujur saja, kawan. Sebenarnya ini hanyalah apoloji belaka, sebab aku mafhum betul bahwa menulis merupakan aktivitas yang sangat fleksibel. Sesibuk apapun seseorang jika meluangkan waktu, pastilah dia bisa menulis. Bahkan semakin sibuk seseorang akan semakin banyak hal yang bisa dia tulis. Hehehe....

Saat ini aku sedang terbaring sakit (mohon doanya, kawan!) Waktu selama dua kali 24 jam lebih banyak kuhabiskan di tempat tidur. Jangankan berjalan, untuk bisa duduk pun aku hanya bertahan kurang dari 5 menit saja. Lewat dari itu pasti terdengar rintihan kesakitan di seantero rumahku.

Sebuah penyakit kulit menyapaku. Orang-orang di kampung menyebutnya dengan istilah 'kanrepali'. Menurut ilmu kedokteran penyakit ini disebut 'herpes zooster'. Apesnya lagi, si herpes ini muncul tepat di paha kiri bagian atas sampai ke selangkangan, tepat di lipatan paha. Hari berikutnya, dia menular ke paha kanan sehingga sempurnalah kedua kakiku tidak bisa digunakan untuk berjalan seperti biasanya.

Hari Jum'at yang lalu aku mencoba memaksakan diri untuk tetap ke tempat dinas. Walau harus berjalan terseok-seok, aku berusaha memenuhi janjiku dengan rekan-rekan kerja untuk mengambil gambar bersama. Mumpung ada fotografer yang juga akan mengambil gambar seluruh siswa sebagi calon peserta ujian. Selain itu, juga ada pertemuan orang tua siswa yang harus aku pimpin. 

Manusia hanya berencana, hanya Tuhan yang menentukan segalanya. Setiba di madrasah, aku tak sanggup duduk lama. Sesi pemotretan pun dipersingkat karena aku sudah tak sanggup menahan nyeri di kakiku. Bahkan untuk memimpin rapat orang tua siswa terpaksa kuwakilkan kepada dua rekan kerjaku agar mendampingi ketua komite madrasah.

Tak lama berselang setelah berfoto, suamiku datang menjemput. Aku harus segera pulang. Tak hentinya aku meringis kesakitan sebab kulitku sudah mulai meradang. Dalam kondisi seperti ini aku hanya bisa mengenakan kain sarung saja sebab kulitku tak bisa tersentuh kain celana maupun rok. Sepanjang perjalanan pulang, rintihanku terus terdengar. 

Setiba di rumah, aku berganti pakaian dengan hati-hati. Suami dengan sigap membantu. Rintihan kesakitan semakin bertambah sebab aku tidak bisa berdiri tegak. Bahkan untuk berjalan pun aku harus dipapah. Keringat dingin membanjiri keningku karena menahan nyeri yang luar biasa. 

Setengah jam berikutnya, aku sudah berbaring di tempat tidur. Aku tidak tahu bagaimana posisi yang tepat agar rasa sakit itu berkurang. Tidur terlentang tidak bisa, tidur menyamping juga tidak pas. Kucoba untuk duduk saja di atas kasur. Ternyata posisi duduk yang nyaman juga susah kutemukan. 

Suamiku segera mengambil segelas air hangat untukku. Glek, glek, glek. Sekejap isi gelas semuanya berpindah melewati tenggorokanku. Alhamdulillaah! Baru kusadari bahwa sejak tadi aku belum minum setetes air pun. 

Pukul sebelas, suamiku pamit hendak menjemput anak-anak di sekolah. Aku mengiyakan dan mencoba untuk beristirahat sambil berbaring. Sekali lagi. Kuambil guling untuk menyangga kaki kiriku, lalu mengatur posisi kaki kanan sebaik mungkin. Yes! Aku berhasil.

Beberapa menit kunikmati rasa sakit yang menggigit di kaki kananku dengan iringan doa dan istigfar. Aku memohon kepada Tuhan agar menjadikan momen ini sebagai penggugur dosa-dosa. Aku yakin pasti ada dosa yang telah kulakukan, yang disengaja atau tidak, yang besar maupun kecil, yang tampak juga yang tersembunyi. Aku pasrah pada kehendak Tuhan semata.

Tiba-tiba ponselku berdering. Ummi Rahel, terpampang nama kakak tertuaku di layar putih. Tak terasa gerimis hatiku. Sejak ibu bapakku meninggal dunia beberapa tahun silam, dialah pengganti mereka berdua bagi kami, adik-adiknya. Adakah firasat yang dirasakan saat ini sampai dia menghubungiku? Ibarat seorang ibu terhadap anaknya.

"Assalamualaikum!" Aku membuka percakapan.

"Wa'alaikumsalaamwarahmatullaah," terdengar jawaban dari seberang. "Apa kabar, dik? Lagi di mana sekarang?" tanyanya.

"Aku di rumah, kak. Sedang kurang sehat ini." Jawabku dengan suara tertahan. 

Benar dugaanku. Kakak tertua sedang merasakan kalau ada sesuatu yang terjadi pada salah satu adiknya. Hatiku menjadi sendu. Kerinduanku pada ibu semakin membuncah. Saat seperti ini biasanya aku dibelai dan diusap-usap penuh kasih sayang oleh ibuku. Dan belaian itu bisa menjadi obat terampuh bagi sakitku. Kini dia tak ada lagi di sisi. Dia telah menyusul bapak yang lebih dulu berpulang kembali ke alam baka.

Kakakku terus menanyaiku dan memberi semangat agar aku segera sehat kembali. Sesekali dia menceritakan kisahnya hari ini sehingga aku sejenak melupakan rasa nyeri di kaki. Setelah beberapa menit berbincang, dia mengakhiri panggilan.

Ada rasa senang sekaligus menyesal dalam hati. Aku senang karena baru saja berbincang dengan kakakku. Sakitku terasa berkurang setelah mendengar suaranya. Namun rasa sesal juga menyergapku sebab tak pernah menyempatkan diri menjenguk ketika Ummi Rahel sedang sakit. 

Kabar tentang kondisi Ummi Rahel sudah kudengar beberapa hari yang lalu dari kakakku yang ketiga, Ummi Jiya. Menurutnya, kakak tertua kami terjatuh di WC dan tidak sadarkan diri. Pada saat itu, aku sedang bersiap pulang ke rumah setelah seharian bekerja di madrasah. Aku merasa sangat lelah sehingga kuputuskan untuk mengunjunginya keesokan harinya. Setiba di rumah, kudapati anak sulungku sedang menggigil kedinginan sementara suhu badannya semakin meninggi. 

Sampai tiga hari berikutnya, aku hanya fokus pada kesehatan anak sulungku, Fathir. Setiap pulang aku berniat akan menelepon dan menanyakan kabar Ummi Rahel. Sayangnya, sampai malam menjelang aku tidur niat itu tak kesampaian. Begitu seterusnya sampai hari ini aku yang terbaring sakit. Lalu Ummi Rahel yang menghubungiku. Terima kasih, kakakku! Maafkan adikmu ini.

Pada saat sakit seperti ini, aku tetap mengurusi beberapa hal di madrasah. Lewat ponsel, kuhubungi rekan kerjaku untuk menghadiri undangan rapat koordinasi di tingkat kabupaten. Baru kali ini ada pertemuan pimpinan yang dilaksanakan pada hari Ahad. Aku merasa bahwa ada sesuatu yang sangat urgen dan mendesak yang ingin disampaikan oleh kepala kantor kementerian dan tidak bisa menunggu sampai hari Senin. 

Selain itu, urusan persiapan ujian akhir madrasah juga sangat mendesak untuk diselesaikan. Operator madrasah melaporkan bahwa data peserta ujian sudah hampir rampung. Ternyata masih ada satu orang siswa yang belum lengkap dokumennya termasuk foto. Segera kuhubungi wali kelas siswa tersebut untuk membantu menyelesaikan perkara ini. Hari Senin besok deadline pengiriman dan kartu ujian harus diterbitkan. Jika sampai malam ini siswa tersebut tidak melengkapi dokumennya, dengan sangat terpaksa dia tidak bisa ikut ujian akhir.

Persiapan ujian akhir madrasah mulai dilakukan oleh panitia yang telah dibentuk. Ketua panitia sekaligus wakil kepala madrasah bidang kurikulum telah mengikuti Bimtek penyusunan soal ujian. Hari Sabtu kemarin telah membimbing seluruh guru mata pelajaran di kelas akhir untuk menyusun soal berdasarkan apa yang telah diperolehnya dalam kegiatan Bimtek. Dari 18 guru pengampu mapel, hanya tiga orang saja yang tidak hadir. Lima belas guru yang hadir dan mendapat bimbingan diharapkan dapat menyelesaikan soal berbentuk multiple choice sebanyak 50 item, lengkap dengan kisi-kisinya. Aku terus memantau aktivitas di madrasah melalui ponselku, juga berdasarkan wakil-wakilkunyang ada di madrasah.

Urusan domestik di rumah secara keseluruhan diambil alih oleh suami dan anak-anak. Aku hanya berbaring di tempat tidur. Sesekali kupaksa diriku bangun jika hendak ke kamar kecil ataupun pada saat makan dan minum saja. Nyeri akibat si herpes masih terus kurasakan, namun tetap kunikmati. Aku yakin Tuhan pasti sedang menguji kesabaranku melalui penyakit ini. 

Sejatinya, bukan hanya aku yang diuji saat ini. Akan tetapi orang-orang di sekitarku pun demikian. Suami dan anak-anak juga diasah kepekaan dan kesabarannya dalam merawatku. Begitu pula rekan-rekan kerjaku di madrasah. Etos kerja dan komitmen mereka juga sedang diuji selagi aku tidak bersama mereka di madrasah.

Hanya satu pintaku saat ini. Aku berharap bisa melewati masa-masa sulit ini tanpa prasangka buruk kepada Tuhan. Semoga si herpes segera beranjak dari kulitku dan setelah ini aku menjadi semakin mantap dalam menjalani hari-hari penuh pengabdian, di rumah maupun di tempat tugasku. Aamiin.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

JANUARI BER-HAB (Part 1)

Tahun 2021 telah meninggalkan semesta. Dia pergi dengan membawa berjuta kenangan dan warna-warni kehidupan.  Kini giliran tahun ...